Bersanding dengan Bidadari
Diceritakan dari Abdul Wahid bin Zaid yang berkata: Dahulu aku pernah naik sebuah perahu. Tiba-tiba bertiuplah angin ribut, sehingga kami semua terdampar di sebuah pulau. Di sana aku sempat menjumpai seorang lelaki penyembah berhala.
Kami kemudian bertanya kepadanya, “Wahai Fulan! Siapakah yang sedang kamu sembah itu?”
Lelaki itu kemudian menunjuk ke sebuah berhala, dan kami kembali bertanya, “Di perahu, kami mempunyai seorang teman yang biasa membuat benda seperti ini (berhala). Akan tetapi, benda ini bukanlah merupakan sembahan sepertimana Tuhan!”
“Lalu, siapa yang kalian sembah?” tanya lelaki penyembah berhala itu.
“Allah,” jawab kami.
“Siapa Allah itu?” tanyanya.
“Zat di mana Arasy-Nya ada di langit, kekuasaan-Nya ada di bumi dan keputusan-Nya berlaku bagi yang masih hidup serta yang telah mati,” jawab kami semua.
“Bagaimana kalian dapat mengenali-Nya?” tanya lelaki itu lagi.
“Tuhan kami telah mengutus seorang utusan yang mulia dan beliaulah yang menerangkan semua itu,” jawab kami.
“Lalu, apa yang dilakukan oleh utusan itu?” tanyanya.
“Beliau telah menyampaikan risalahnya dan kemudian beliau pun wafat,” jawab kami serentak.
“Apakah beliau tidak meninggalkan sebuah bukti kepada kalian?” tanya lelaki penyembah berhala itu.
“Ya, beliau meninggalkan kitab Allah,” jawab kami lagi.
“Tolong perlihatkan kepadaku kitab Allah itu, aku yakin kitab-kitab Allah itu indah sekali,” kata lelaki tadi.
Kami pun mengambilkan sebuah mushaf. Setelah melihatnya, dia berkata, “Aku tidak pernah tahu kitab ini!”
Kami lalu membacakan sebuah surah Al-Qur’an dan ketika kami membacanya, dia pun menangis hingga kami selesai membaca satu surah. Selepas kami membacanya, dia pun berkata, “Sudah selayaknya Pemilik kalam ini tidak diderhakai.”
Akhirnya lelaki penyembah berhala itu pun masuk Islam, dan ikut bersama kami. Kami ajarkan hukum-hukum Islam serta sebahagian surah-surah Al-Qur’an kepadanya.
Saat malam tiba, selepas melakukan solat Isyak, kami merebahkan diri di pembaringan, lelaki itu kemudian berkata, “Wahai saudaraku! Apakah Tuhan yang telah kalian tunjukkan kepadaku ini ketika malam tiba Dia juga tidur?”
“Tidak, wahai hamba Allah! Dia adalah Maha Besar, Maha Berdiri sendiri dan tidak akan pernah tidur,” jawab kami semua.
“Kalau begitu. orang paling buruk adalah kalian semua. Kalian semua tidur, sedang Tuhan kalian tidak pernah tidur,” kata lelaki tadi.
Kami semua kagum oleh kata-katanya itu, maka ketika kami sampai di daerah Ubbadan, hal ini kuberitahukan kepada teman-temanku, “Dia baru saja masuk agama Islam.”
Kami mengumpulkan beberapa keping wang dirham, selanjutnya kami berikan kepadanya. Saat kami serahkan, dia berkata, “Apa ini?”
“Kami berikan ini kepadamu,” jawab kami.
“Laa ilaaha illallaah, kalian telah menunjukkan aku ke sebuah jalan yang selamanya belum pernah kalian lalui. Dahulu aku berada di sebuah jazirah dengan menyembah berhala, tetapi berhala itu tidak pernah membuat aku hidup miskin. Maka sekarang tidak mungkin Tuhan yang aku sembah ini akan membuat aku susah, sedang aku sendiri mengingati-Nya siang dan malam,” kata lelaki itu.
Selang beberapa hari, aku mendapat khabar bahawa lelaki itu menderita sakit parah. Aku datang menjenguk dan bertanya kepadanya, “Adakah yang dapat kubantu untukmu?”
“Yang dapat membantuku adalah orang yang bersama kalian ke jazirah tempat tinggalku,” demikian jawabnya.
Pada saat itu mataku terasa mengantuk sekali hingga akhirnya aku pun tertidur di sisinya. Di dalam tidur aku bermimpi bahawa di makam Ubbadan ada sebuah taman dan di taman itu ada sebuah kubah. Di dalam kubah tersebut ada sebuah pembaringan. Di atasnya duduk seorang bidadari jelita yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Gadis itu kemudian berkata, “Demi Allah, aku memohon kepadamu agar dia datang secepatnya. Sungguh, aku telah rindu kepadanya!”
Aku pun terbangun dan ternyata setelah kuamati lelaki itu sudah meninggal dunia. Aku ikut merawat jenazahnya, mulai dari memandikan, mengafani, menyembahyangkan dan seterusnya menguburkannya.
Tengah malam aku bermimpi bertemu dengan lelaki itu, dia berada dalam kubah bersanding dengan bidadari yang kujumpai dalam mimpiku sebelumnya. Aku dengar lelaki itu sedang membaca ayat yang bermaksud: ....sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan), “Salamun ‘alaikum bima shabartum (salam sejahtera buat kalian semua atas kesabaran kalian semua).” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
(Ar-Ra’d: 23-24)
Kami kemudian bertanya kepadanya, “Wahai Fulan! Siapakah yang sedang kamu sembah itu?”
Lelaki itu kemudian menunjuk ke sebuah berhala, dan kami kembali bertanya, “Di perahu, kami mempunyai seorang teman yang biasa membuat benda seperti ini (berhala). Akan tetapi, benda ini bukanlah merupakan sembahan sepertimana Tuhan!”
“Lalu, siapa yang kalian sembah?” tanya lelaki penyembah berhala itu.
“Allah,” jawab kami.
“Siapa Allah itu?” tanyanya.
“Zat di mana Arasy-Nya ada di langit, kekuasaan-Nya ada di bumi dan keputusan-Nya berlaku bagi yang masih hidup serta yang telah mati,” jawab kami semua.
“Bagaimana kalian dapat mengenali-Nya?” tanya lelaki itu lagi.
“Tuhan kami telah mengutus seorang utusan yang mulia dan beliaulah yang menerangkan semua itu,” jawab kami.
“Lalu, apa yang dilakukan oleh utusan itu?” tanyanya.
“Beliau telah menyampaikan risalahnya dan kemudian beliau pun wafat,” jawab kami serentak.
“Apakah beliau tidak meninggalkan sebuah bukti kepada kalian?” tanya lelaki penyembah berhala itu.
“Ya, beliau meninggalkan kitab Allah,” jawab kami lagi.
“Tolong perlihatkan kepadaku kitab Allah itu, aku yakin kitab-kitab Allah itu indah sekali,” kata lelaki tadi.
Kami pun mengambilkan sebuah mushaf. Setelah melihatnya, dia berkata, “Aku tidak pernah tahu kitab ini!”
Kami lalu membacakan sebuah surah Al-Qur’an dan ketika kami membacanya, dia pun menangis hingga kami selesai membaca satu surah. Selepas kami membacanya, dia pun berkata, “Sudah selayaknya Pemilik kalam ini tidak diderhakai.”
Akhirnya lelaki penyembah berhala itu pun masuk Islam, dan ikut bersama kami. Kami ajarkan hukum-hukum Islam serta sebahagian surah-surah Al-Qur’an kepadanya.
Saat malam tiba, selepas melakukan solat Isyak, kami merebahkan diri di pembaringan, lelaki itu kemudian berkata, “Wahai saudaraku! Apakah Tuhan yang telah kalian tunjukkan kepadaku ini ketika malam tiba Dia juga tidur?”
“Tidak, wahai hamba Allah! Dia adalah Maha Besar, Maha Berdiri sendiri dan tidak akan pernah tidur,” jawab kami semua.
“Kalau begitu. orang paling buruk adalah kalian semua. Kalian semua tidur, sedang Tuhan kalian tidak pernah tidur,” kata lelaki tadi.
Kami semua kagum oleh kata-katanya itu, maka ketika kami sampai di daerah Ubbadan, hal ini kuberitahukan kepada teman-temanku, “Dia baru saja masuk agama Islam.”
Kami mengumpulkan beberapa keping wang dirham, selanjutnya kami berikan kepadanya. Saat kami serahkan, dia berkata, “Apa ini?”
“Kami berikan ini kepadamu,” jawab kami.
“Laa ilaaha illallaah, kalian telah menunjukkan aku ke sebuah jalan yang selamanya belum pernah kalian lalui. Dahulu aku berada di sebuah jazirah dengan menyembah berhala, tetapi berhala itu tidak pernah membuat aku hidup miskin. Maka sekarang tidak mungkin Tuhan yang aku sembah ini akan membuat aku susah, sedang aku sendiri mengingati-Nya siang dan malam,” kata lelaki itu.
Selang beberapa hari, aku mendapat khabar bahawa lelaki itu menderita sakit parah. Aku datang menjenguk dan bertanya kepadanya, “Adakah yang dapat kubantu untukmu?”
“Yang dapat membantuku adalah orang yang bersama kalian ke jazirah tempat tinggalku,” demikian jawabnya.
Pada saat itu mataku terasa mengantuk sekali hingga akhirnya aku pun tertidur di sisinya. Di dalam tidur aku bermimpi bahawa di makam Ubbadan ada sebuah taman dan di taman itu ada sebuah kubah. Di dalam kubah tersebut ada sebuah pembaringan. Di atasnya duduk seorang bidadari jelita yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Gadis itu kemudian berkata, “Demi Allah, aku memohon kepadamu agar dia datang secepatnya. Sungguh, aku telah rindu kepadanya!”
Aku pun terbangun dan ternyata setelah kuamati lelaki itu sudah meninggal dunia. Aku ikut merawat jenazahnya, mulai dari memandikan, mengafani, menyembahyangkan dan seterusnya menguburkannya.
Tengah malam aku bermimpi bertemu dengan lelaki itu, dia berada dalam kubah bersanding dengan bidadari yang kujumpai dalam mimpiku sebelumnya. Aku dengar lelaki itu sedang membaca ayat yang bermaksud: ....sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan), “Salamun ‘alaikum bima shabartum (salam sejahtera buat kalian semua atas kesabaran kalian semua).” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
(Ar-Ra’d: 23-24)
Penduduk Syurga
Di dalam kitab Al-Multaqith diceritakan, bahawa sebahagian bangsa Alawiyah ada yang bermukim di daerah Balkha. Ada sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami isteri dengan beberapa anak wanita mereka. Keadaan keluarga tersebut serba kekurangan.
Ketika suaminya meninggal dunia, isteri beserta anak-anak wanitanya meninggalkan kampung halamannya pergi ke Samarkand untuk menghindari ejekan orang ramai di sekitarnya. Kejadian tersebut berlaku pada musim sejuk.
Saat mereka telah memasuki kota, si ibu mengajak anak-anaknya singgah di masjid, sementara dirinya pergi untuk mencari sesuap nasi.
Di tengah perjalanan si ibu berjumpa dengan dua kelompok orang, yang satu dipimpin oleh seorang Muslim yang merupakan tokoh di kampung itu sendiri, sedang kelompok satunya lagi dipimpin oleh seorang Majusi, pemimpin kampung itu.
Si ibu tersebut lalu menghampiri tokoh tersebut dan menjelaskan mengenai dirinya serta berkata, “Aku mohon agar tuan berkenan memberiku makanan untuk keperluan malam ini!”
“Tunjukkan bukti-bukti bahawa dirimu benar-benar bangsa Alawiyah,” kata tokoh orang Muslim di kampung itu.
“Di kampung tidak ada orang yang mengenaliku,” kata ibu tersebut.
Sang tokoh itu pun akhirnya tidak menghiraukannya. Seterusnya dia hendak memohon kepada si Majusi, pemimpin kampung tersebut. Setelah menjelaskan tentang dirinya dengan tokoh kampung, lelaki Majusi lalu memerintahkan kepada salah seorang anggota keluarganya untuk datang ke masjid bersama si ibu itu, akhirnya dibawalah seluruh keluarga janda tersebut untuk tinggal di rumah Majusi yang memberinya pula pelbagai perhiasan serba indah.
Sementara tokoh masyarakat yang beragama Islam itu bermimpi seakan-akan hari Kiamat telah tiba dan panji kebenaran berada di atas kepala Rasulullah SAW. Dia pun sempat menyaksikan sebuah istana tersusun dari zamrud berwarna hijau. Kepada Rasulullah SAW. dia lalu bertanya, “Wahai Rasululah! Milik siapa istana ini?”
“Milik seorang Muslim yang mengesakan Allah,” jawab baginda.
“Wahai Rasulullah, aku pun seorang Muslim,” jawabnya.
“Cuba tunjukkan kepadaku bahawa dirimu benar-benar seorang Muslim yang mengesakan Allah,” sabda Rasulullah SAW. kepadanya.
Tokoh di kampung itu pun bingung atas pertanyaan baginda, dan kepadanya Rasulullah SAW. kemudian bersabda lagi, “Di saat wanita Alawiyah datang kepadamu, bukankah kamu berkata kepadanya, “Tunjukkan mengenai dirimu kepadaku!” Kerananya, demikian juga yang harus kamu lakukan, iaitu tunjukkan dahulu mengenai bukti diri sebagai seorang Muslim kepadaku!”
Sesaat kemudian lelaki muslim itu terjaga dari tidurnya dan air matanya pun jatuh berderai, lalu dia memukuli mukanya sendiri. Dia berkeliling kota untuk mencari wanita Alawiyah yang pernah memohon pertolongan kepadanya, hingga dia mengetahui di mana kini wanita tersebut berada.
Lelaki Muslim itu segera berangkat ke rumah orang Majusi yang telah menampung wanita Alawiyah beserta anak-anaknya.
“Di mana wanita Alawiyah itu?’ tanya lelaki Muslim kepada orang Majusi.
“Ada padaku,” jawab si Majusi.
“Aku sekarang menghendakinya,” ujar lelaki Muslim itu.
“Tidak semudah itu,” jawab lelaki Majusi.
“Ambillah wang seribu dinar dariku dan kemudian serahkan mereka padaku,” desak lelaki Muslim.
“Aku tidak akan melepaskannya. Mereka telah tinggal di rumahku dan dari mereka aku telah mendapatkan berkatnya,” jawab lelaki Majusi itu.
“Tidak boleh, engkau harus menyerahkannya,” ujar lelaki Muslim itu seolah-olah mengugut.
Maka, lelaki Majusi pun menegaskan kepada tokoh Muslim itu, “Akulah yang berhak menentukan apa yang kamu minta. Dan istana yang pernah kamu lihat dalam mimpi itu adalah diciptakan untukku! Adakah kamu mahu menunjukkan keislamanmu kepadaku? Demi Allah, aku dan seluruh keluargaku tidak akan tidur sebelum kami memeluk agama Islam di hadapan wanita Alawiyah itu, dan aku pun telah bermimpi sepertimana yang kamu mimpikan, serta Rasulullah SAW. sendiri telah pula bersabda kepadaku, “Adakah wanita Alawiyah beserta anaknya itu padamu?”
“Ya, benar,” jawabku.
“Istana itu adalah milikmu dan seluruh keluargamu. Kamu dan semua keluargamu termasuk penduduk syurga, kerana Allah sejak zaman azali dahulu telah menciptakanmu sebagai orang Mukmin,” sabda baginda kembali.
Istana Mutiara Berwarna Merah
Bersumber dari Khatan Abu Imran Al-Lu’lu’i. Dia adalah seorang soleh yang suka melayani orang-orang fakir dan rumahnya selalu terbuka bagi sesiapa pun.
Suatu ketika ada sekelompok kaum bertamu ke rumahnya, dia lalu segera menghadap kepada seorang hakim agar memberi sesuatu kepadanya yang akan digunakan untuk menjamu para tetamunya itu. Akan tetapi, sang hakim tersebut tidak memberikan sesuatu pun kepadanya.
Demikianlah, Khatan pun akhirnya pergi menemui seorang Yahudi dan orang Yahudi itu ternyata mengabulkan permintaannya dan dengan segera mengirimkan sesuatu yang diperlukan oleh Khatan dalam menjamu tetamunya.
Ketika sang hakim tidur, dia bermimpi seakan-akan dia sedang berdiri di depan sebuah pintu gerbang sebuah istana yang terbuat dari mutiara berwarna merah. Saat melangkahkan kakinya, hendak memasuki istana tersebut, tiba-tiba dia dihadang dan dilarang memasukinya. Lalu dikatakan kepadanya:
“Sebenarnya istana ini milikmu, akan tetapi sekarang telah diserahkan kepada si Fulan yang beragama Yahudi itu.”
Pada keesokan harinya, hakim itu bergegas pergi ke rumah Khatan Abu Imran untuk meminta keterangan tentang apa yang telah dilakukannya setelah ditolak beberapa waktu sebelumnya. Setelah memberitahukannya, sang hakim itu kemudian bergegas menemui orang Yahudi sebagaimana telah disebutkan oleh Khatan.
Sang hakim berkata kepada orang Yahudi itu, “Kamu telah mempunyai istana di syurga. Adakah kamu mahu menjualnya dengan harga sepuluh ribu dirham?”
“Tidak,” jawabnya tegas.
Hakim itu berusaha menaikkan harga tawarannya, namun demikian, orang Yahudi tersebut tetap pada pendiriannya untuk tidak menjualnya.
Dan akhirnya hakim itu minta kepadanya untuk menceritakan kisah yang dialaminya, dan si Yahudi itu akhirnya menceritakan kisahnya.
Orang Yahudi itu lalu berkata kepada Khatan Abu Imran, “Ajarilah aku akan agama Islam!”
Demikianlah, ditinggalkannya agama Yahudi yang dianutinya dan kemudian dia masuk Islam dengan yakin dan ikhlas.
2 Kesan Parut:
salam, nak mintak kebenaran copy bleh????thanks
Silakan....
Catat Ulasan